Sabtu, 25 April 2020

Siasat Perang

Wawan Setiawan Tirta
 Gelar Garuda Nglayang



Gelar Garuda Nglayang ini mengandalkan kekuatan pasukan yang besar seperti burung garuda melayang dan meniru gerakan burung garuda, dimana panglima dan pemimpin pasukan berada di paruh, kepala, sayap,dan ekor memberikan perintah kepada anak buahnya dengan siasat seperti tingkah burung garuda yang menyambar atau mematuk, dsb. Pada intinya serangan ini mengandalkan satu senapati utama pada posisi paruh,kemudian sayap kiri kanan bergerak bebas dengan posisi pengatur posisi yang sedikit heroik, sebab perlindungan posisi pengatur pasukan berada di depan, pasukan inti menempati posisi cakar kaki, kemudian pemimpin utama berada di ekor sebagai posisi pasukan penyapu terakhir.

Gelar ini menempatkan Senopati di depan sendiri sbg paruhnya, kemudian 2 orang berjajar / seorang Senopati di belakang paruh sbg kepala burung, kemudian Senopati Agung di belakang kepala burung. Dua orang Senopai berada di ujung sayap kanan dan kiri yang cukup jauh. Para Prajurit mengisi sayap dan menyambung dengan tubuh burung, kepala dan ekor, dimana di ekor burung terdapat seorang Senopati lagi. Dua sayap pada Gelar ini dimaksudkan agar dapat mengepung prajurit musuh utk dikalahkan / ditumpas. Gelar perang ini pernah juga digunakan oleh pihak Pandawa pada perang Baratayudha. Arjuna sebagai patuk, Prabu Drupada berada di kepala, Prabu Kresna sekereta dengan Arjuna, Drustajumna di sayap kanan, dan Bima memimpin di sayap kiri, Setyaki sebagai ekor, dan para raja berada di tengkuk dipimpin oleh Prabu Yudistira. Konon gelar garuda nglayang pernah digunakan oleh panglima besar Jendral Soedirman dalam perang palagan Ambarawa

***

Dalam pewayangan, perang ada 3 macam :

1. Perang Gagal : Perang yang tidak berkesudahan
2. Perang Kembang : Perang yang mengembangkan lakon
3. Perang Sampak : Perang yang penghabisan dalam lakon

Dalam perang Baratayuda, pihak Pandawa dan Korawa menggunakan siasat perang tertentu.

Pandawa menggunakan bentuk “Garuda Melayang” dimana di paruhnya diisi oleh seseorang sebagai pemimpin yang akan melakukan gerak-gerik muslihat perang dan menentukan arah dari pasukan secara keseluruhan. Gerak laksana burung garuda seperti menyambar, mematuk dan sebagainya dipimpin dan dipandu oleh “paruh”

Contoh formasi para petinggi Pandawa dalam siasat perang Garuda Melayang :

* Arjuna : patuk (satu kereta dengan Kresna)
* Prabu Drupada : kepala
* Drustajumna : sayap kanan
* Bima : sayap kiri
* Setiyaki : ekor
* Para raja : di tengkuk (melindungi Yudistira)

Gelar Cakra Byuha
Gelar Cakra Byuha adalah formasi perang dengan pengepungan/countainment. (Cakra= cakram, senjata berbentuk bulat pipih bergerigi; Byuha = gelar barisan). Formasi ini dapat juga digunakan untuk masuk ke tengah-tengah medan pertempuran yang sudah terlebih dahulu terjadi . Lingkaran gelar Cakra Byuha akan langsung masuk ke tengah-tengah peperangan, kemudian mengembang sebagai gelar lingkaran yang semakin besar. Gelar yang berbentuk lingkaran bergerigi, yang menempatkan para senapatinya di sepanjang ujung geriginya. Gelar itu akan dapat menghadap ke segala arah sesuai dengan keadaan yang berkembang di medan yang sengit, yang mengarah kepada perang brubuh. Namun berbeda dengan gelar Gedung Minep, yang juga merupakan lingkaran yang rapat, maka gelar Cakra Byuha menempatkan senapati utamanya di depan, di luar lingkaran. Senapati Utamanya dapat bergeser menurut keadaan. gelar cakra byuha biasanya digunakan untuk melindungi raja, orang penting, tawanan atau pusaka,yang akan dibawa kesuatu tempat.orang/ barang yang dilindungi tsb diletakkan ditengah gelar, sementara pasukan melindungi berlapis lapis berbentuk bulat/melingkar. dengan ujung2 geriginya pasukan bergerak menghancurkan penghalang yang merintangi.

Gelar Gedong Minep

Gedong Minep adalah sebuah formasi yang digunakan untuk menjebak musuh yang jumlahnya lebih sedikit dengan cara memancing pasukan lawan untuk masuk kedalam gelar, kemudian pasukan lawan kalau sudah masuk ditengah, akan mereka kurung (gedong=gedung, minep=menutup)kemudian lawan akan dihancurkan. Gelar ini tidak efektif manakala jumlah pasukan seimbang atau lebih banyak, karena kepungan lambat laun akan jebol. Panglima dari gelar Gedong Minep berada di dalam lingkaran yang tertutup rapat. Senopati berada di tengah, dikelilingi bawahan dan prajuritnya. Sehingga bila mendapat serangan musuh maka para prajuritnya yg terkena lebih dulu. Apabila Gelar ini bukan suatu siasat untuk menjebak musuh, maka gelar ini memberi gambaran bahwa Senopati / Senopati Agung tsb sebenarnya kurang memiliki keberanian.

Gelar Jurang Grawah

Gelar Jurang Grawah mirip dengan gedong minep, namun biasanya digunakan untuk melawan pasukan yang lebih banyak jumlahnya dengan cara memancing mereka kedalam pasukan, tetapi tidak dikurung (jurang=jurang, grawah= menganga), lawan dibiarkan masuk sebanyak banyaknya, namun begitu sampai ketengah pasukan langsung dibinasakan.Formasi ini hanya bisa dilaksanakan jika pasukan memiliki kelebihan kemampuan, baik perseorangan maupun dalam kelompok dibanding dengan pasukan lawan, atau dapat dikatakan ini adalah gelar yang sering digunakan oleh pasukan khusus, walaupun kecil jumlahnya tapi berkemampuan tinggi.

Gelar Wukir Jaladri

Gelar Wukir Jaladri adalah formasi pasukan yang bentuknya seperti gunung ditengah lautan (wukir = gunung, jaladri = lautan). Gelar ini biasanya digunakan untuk bertahan dari gempuran musuh. Bermakna Gunung di tengah laut. Kendaraan besar dan gajah akan ditempatkan di tengah sebagai gunung atau batu karang, dengan Panglima berkedudukan di tengah-tengahnya sbg pusat komando, sedangkan para Senopati dan prajurit melingkarinya sbg gelombang dan airnya.

Gelar Gelatik / Emprit Neba

Gelar Gelatik / Emprit Neba adalah strategi perang dengan bentuk formasi seperti burung gelatik dalam jumlah banyak yang bersama sama turun dari udara (neba= turun dari udara dalam keadaan terbang),atau burung gelatik yg secara bersama-sama datang ke sawah utk mencari makan padi, pada umumnya melayang turun bersama-sama. Tentu saja burung gelatik tsb mamakan padi semaunya sendiri tanpa aturan maka rusaklah tanaman padi yang diibaratkan sebagai musuh. Gelar ini biasanya dilakukan oleh Senopati Agung / sepasukan prajurit yg sudah putus asa, mungkin karena sudah terjepit tapi pantang menyerah.

Mowor Sambu dan Dom Sumuruping Banyu

Mowor Sambu dan Dom Sumuruping Banyu oleh sebagian orang tidak digolongkan dalam gelar perang tetapi hanya bagian dari strategi perang. Dalam Gelar Wowor Sambu, sepasukan prajurit , sebagian atau bahkan seorang prajurit bertugas menyerang musuh dari belakang atau dari dalam dengan cara menyamar sbg prajurit musuh atau dalam bentuk lain. Hal ini pernah dilakukan prajurit Mataram pada masa Sultan Agung menyerang Kompeni Belanda/ VOC di Batavia tahun 1629, dengan memasukkan prajuritnya ke dlm benteng VOC sbg pedagang sayur sejumlah 40 prajurit, yg kemudian bertugas menyerang musuh dari belakang, sementara prajurit Mataram yg besar jumlahnya menyerang dari depan atau luar benteng.

Sedangkan pengertian Dom Sumuruping Banyu adalah memasukkan sedikit orang ke daerah musuh utk memata-matai kekuatan musuh, hal ini sama dengan Wowor Sambu apabila dengan prajurit yg relatif sedikit yg ditugaskan khusus hanya utk memata-matai musuh.


Siasat Perang Supit Urang


 Siasat perang ini merupakan siasat perang yang menyerupai seekor udang dengan kedua supitnya. Siasat perangnya menggunakan gerak-gerik yang amat teliti, karena pemimpin selalu mengetahui serangan musuh yang akan dilawan dengan siap sedia. Dengan ketangkasan supitnya, musuh akan mendapat bahaya.

Cara ini digunakah oleh Pandawa dalam perang Baratayudha, dimana Drustajumena bertindak sebagai ujung supit kanan, dan Gatotkaca memimpin supit kiri, Raden Setyaki sebagai mulut, dan Prabu Darmaputra berada di kepala, diiringi oleh para raja pembantu. Abimanyu (Angkawijaya) berada di sungut. Pasukan gelar supit urang ini diiringi dengan tetabuhan perang dan sorak riuh rendah membangun semangat. Namun, pada perang itu Abimanyu tewas terkena tipu muslihat pihak Kurawa. Tewaslah Abimanyu dengan penuh luka, yang dalam peribahasa Jawa disebut tatu arang kranyang, (luka parah bagaikan anyaman keranyang).

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Siasat Perang Gilingan Rata


 Siasat perang ini sangat hebat, menyerupai roda kereta yang menggelinding dengan dahsyat sehingga apapun apapun yang tergiling akan hancur lebur. Perang dengan siasat ini harus mengerahkan tentara dengan jumlah besar dan harus mampu bergerak cepat, sebab tujuan siasat ini adalah menggempur kekuatan lawan dengan segera dan habis pada seketika itu juga. Siasat ini memerlukan panglima perang yang ulung, hingga musuh yang ditampuhnya tak dapat melawan. Pemimpin gerakan ini sebagian berada di garis depan dan sebagian lagi berada di garis belakang untuk mengelabuhi musuh.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.


Siasat Perang Dirada Meta
Diradameta artinya gajah yang sedang marah. Siasat ini menggambarkan kemarahan seekor gajah. Kemarahan yang mengagumkan (sekaligus mengerikan), belalai dan gading gajah itu sangat membahayakan. Dan kekuatannya pun maha dahsyat.

Siasat perang Diradameta ini digunakan Kurawa dalam perang Baratayudha, dimana Prabu Duryudana bertempat di tengkuk dengan Arja Sindurja (Jayadrata) dan Adipati Awangga, barisan Kurawa membentuk gading, sedangkan Prabu Bagadenta sebagai belalai gajah, dan Dahyang Durna berada di kepala gajah.

Bertempur antara Pandawa dan Kurawa dimisalkan seperti laut beradu gelombang, bergema hingga menjulang ke angkasa, dan menggelisahkan Suralaya, maka para Dewa di Suralaya menurunkan hujan bunga ke medan perang itu untuk penghiburan.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Siasat Perang Wulan Tumanggal

 Siasat perang ini diibaratkan seperti bentuk bulan sabit, dimana seolah-olah wujudnya tidak membahayakan. Tetapi sesungguhnya siasat ini membahayakan karena di ujung sudut dan di tengah barisan selalu siap sedia dengan gerakan yang mudah dilakukan.
Selain dari siasat perang yang digambarkan ini, masih ada pula siasat lain-lainnya, seperti :

* Jaladri pasang, yaitu samudera yang sedang pasang airnya, dimana gerak-gerik pasukan diibaratkan air laut pasang yang mematikan.
* Emprit neba, ialah burung emprit yang datang menyerbu serentak di sawah. Oleh karena burung-burung menyerbu dalam jumlah banyak, maka rusaklah tanaman padi yang diibaratkan sebagai musuh.

Ada peribahasa Jawa yang berbunyi: Kinepung wakuI binaya mangap, yang artinja dikelilingi seperti pertemuan bingkai bakul dan seperti bertemu dengan buaya ternganga mulutnya. Berarti bahaya yang tak dapat dihindari.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

sumber : http://prawiro-java.blogspot.com/search/label/Siasat%20Perang%20Wayang